Digitalisasi Sekolah ; Manfaat Dan Masalah


Era digital plus pandemi yang terjadi saat ini memaksa banyak aspek kehidupan beradaptasi dengan cepat. Tak terkecuali sektor pendidikan yang dalam satu setangah tahun ini, kegiatan belajar mengajar harus dilakukan secara daring.


Seolah berkejaran dengan waktu, akselerasi digital di dunia pendidikan pun dilakukan dengan menerapkan Program Digitalisasi Sekolah secara bertahap. Prioritas dari Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) ini, di antaranya kemerdekaan untuk mendapatkan akses konten kurikulum yang baik, akses pengajaran, akses kepada data, dan juga berbagai bantuan layanan yang diberikan kepada sekolah.


Anggarannya pun tidak sedikit, untuk tahun 2021 saja, Program Digitalisasi Sekolah tersebut terdiri dari penguatan platform digital sebesar Rp109,85 miliar. Kemudian, konten pembelajaran di program TVRI sebesar Rp131 miliar, bahan belajar dan model media pendidikan sebesar Rp74,02 miliar, dan untuk penyediaan sarana pendidikan atau peralatan TIK sebesar Rp1,175 triliun.    


Pertanyaannya kemudian, seberapa siapkah guru dan murid dalam menghadapi transformasi digital ini?


Visi Teliti Saksama mencoba menggali kesiapan guru dan murid dalam menghadapi Program Digitalisasi Sekolah melalui survei kecil-kecilan yang dilaksanakan pada 26-31 Agustus 2021. Dari 167 responden, sebanyak 79% berprofesi guru dan 21% merupakan orang tua murid.


Dari 79% responden guru tersebut, sebanyak 48,5% mengajar di tingkat SMA/Sederajat; 41,7% mengajar SD/Sederajat; dan 9,8% mengajar SMP/Sederajat. Sementara itu, dari 21% responden orang tua murid, sebanyak 48,6% anaknya bersekolah SD; 42,9% anaknya bersekolah SMA/Sederajat; dan 34,3% anaknya bersekolah SMP/Sederajat.   


Berdasarkan hasil survei ini, dilihat dari pengetahuan, sepertinya tingkat pengetahuan tentang Program Digitalisasi Sekolah belum seimbang antara guru dan orang tua murid. Guru yang memang sudah mengetahui adanya program digitalisasi sekolah, seharusnya bisa memberikan informasi yang lengkap kepada orang tua murid.


Apalagi, dalam program tersebut, memuat kemerdekaan siswa untuk mendapatkan akses konten kurikulum yang baik. Kurikulum bagi orang tua, mempunyai fungsi agar orang tua dapat berpartisipasi membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya. Karena bagaimanapun, peran tanggung jawab kesuksesan belajar anak tidak hanya di pundak sekolah dan guru, tapi juga orang tua.


Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para orang tua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak mereka. Selain itu, keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun bakal membantu kesiapan anak.


Dengan begitu, anak didik diharapkan mendapatkan sejumlah pengalaman baru yang dapat dikembang­kan seirama dengan perkembangan anak, agar dapat memenuhi bekal hidupnya kelak (Damayani & Arifin, 2013).


Tingkat pengetahuan Guru tentang Program Digitalisasi Sekolah sudah cukup baik dibandingkan Orang Tua Murid 


Infomasi saja, survei yang kami lakukan ini, juga ditujukan untuk menggali informasi mengenai kesiapan guru dan orang tua murid dalam menghadapi program digitalisasi sekolah ini. 


Kesiapan yang dimaksud meliputi kesiapan peralatan, kemandirian dalam menggunakan perangkat TIK (Teknologi Informasi dan Komputer), dan kesiapan terkait penguasaan program/aplikasi komputer.


Hasilnya, guru memiliki kesiapan peralatan lebih baik dibandingkan orang tua murid dalam mendukung anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dari kepemilikan perangkat TIK yang terdiri dari smartphone, laptop, internet/wifi, aplikasi penunjang dan materi pembelajaran. Sayangnya, di antara kelima peralatan tersebut, hanya aplikasi penunjang yang sepertinya belum mencakup sebagian besar para guru.


Hal yang serupa juga ditemukan pada kelompok responden orang tua murid. Terlepas dari sebagian besar orang tua murid telah memiliki smartphone dan laptop dalam menunjang proses pembelajaran anak-anaknya, penggunaan aplikasi penunjang dan materi pembelajaran minim dilakukan orang tua.


Berdasarkan hasil survei Visi teliti Saksama terhadap 167 responden yang terdiri dari guru (79%) dan  orang tua murid (21%), kesiapan peralatan TIK guru dan orang tua murid sudah cukup baik


 Padahal, Kemendikbudristek telah menyediakan beberapa aplikasi penunjang untuk mendukung proses pembelajaran. Aplikasi ini dapat digunakan tidak hanya oleh siswa, tapi juga guru dalam proses belajar mengajar. Dari hasil survei ini, bisa dibilang, perlu adanya peningkatan pemanfaatan aplikasi penunjang dan materi pembelajaran digital dalam proses belajar siswa.


Di samping itu, dilihat dari kemandirian dalam menggunakan perangkat TIK secara mandiri, baik guru maupun murid, telah cukup baik. Namun, ketika ada permasalahan terkait komputer, kedua kelompok ini mengaku masih membutuhkan bantuan. Meski dengan catatan, kondisi tersebut tergantung tingkat kesulitan yang dihadapi keduanya.


Survei ini juga mencoba menggali informasi terkait tingkat penguasaan program/aplikasi komputer. Tingkat penguasaan dimaksud terdiri atas tingkat penguasaan program komputer seperti microsoft word, excel, power point, internet, dan sebagainya.


Kemudian, tingkat penguasaan menggunakan aplikasi Zoom dan Google Meet. Lalu, tingkat penguasaan menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp dan sebagainya. Termasuk tingkat penguasaan menggunakan email sebagai media komunikasi, dan tingkat penguasaan memahami komputer secara keseluruhan.


Hasilnya, guru memiliki tingkat penguasaan yang baik dari kelima indikator yang kami tentukan. Pada tingkat responden yang lebih besar, boleh jadi hasil ini akan berbeda, karena sepertinya tingkat penguasaan program/aplikasi komputer masih belum merata di Indonesia baik guru maupun murid dan orang tua.


Berdasarkan hasil survei Visi Teliti Saksama terhadap 167 responden yang terdiri dari guru (79%) dan  orang tua murid (21%), tingkat penguasaan program komputer/aplikasi sudah cukup baik.


 Namun, terlepas dari kendala yang ada, dari 167 responden, 94,6% menyatakan setuju dengan adanya Program Digitalisasi Sekolah. Bagi responden yang setuju, sebagian besar beralasan, Program Digitalisasi Sekolah dapat meningkatkan kualitas Pendidikan (77,2%) dan dapat memudahkan proses belajar mengajar (67,10%).


Menariknya, ketika terkait alasan ini kami berikan pertanyaan terbuka, responden memberikan alasan yang sangat beragam. Di antaranya dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, telah memasuki era industri 4.0, belajar lebih menyenangkan, dapat menyesuaikan dengan kondisi pandemi, dan aneka jawaban lainnya.


Lain halnya dengan responden yang tidak setuju. Sebagian besar beralasan bahwa Program Digitalisasi Sekolah membuat pemahaman siswa terhadap materi kurang (55,6%) dan guru sulit memantau perkembangan belajar siswa (44,40%).


Alasan lainnya atas ketidaksetujuan pun sangat beragam. Di antaranya infrastruktur dasar seperti listrik dan jaringan internet yang kurang memadai, biaya internet membengkak, dan spesifikasi laptop yang tidak kompatibel.


Dari 167 responden, sebanyak 94,6% menyatakan setuju dengan adanya Program Digitalisasi Sekolah.


 Memang, permasalahan dari pendidikan Indonesia, bukan hanya dari metode pembelajaran yang harus mengikuti perkembangan zaman melalui penerapan teknologi. Tapi, pendidikan di Indonesia juga dihadapkan juga pada masalah yang lebih mendasar dan seharusnya dapat dipenuhi terlebih dahulu. Di antaranya terkait infrastruktur sekolah, termasuk ruang kelas dan sebagainya yang belum merata.


Bayangkan, bagaimana jadinya jika pemerintah akan melengkapi sekolah dengan perangkat teknologi, sementara kondisi bangunan sekolah sendiri, belum memadai. Belum lagi, dukungan jaringan internet yang belum merata di setiap wilayah.


Kan, ada dana BOS? Betul, tapi jika biaya pemeliharaan alat dibebankan pada dana BOS yang besarannya tergantung jumlah siswa, bagaimana nasibnya sekolah di pelosok yang jumlah siswanya hanya sedikit?


Asal tahu saja, program digitalisasi ini dimulai dari daerah-daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal). Nah, ironisnya, tak sedikit daerah-daerah dengan kategori 3T tersebut punya akses yang baik ke jaringan internet.


Jangankan sinyal internet, di beberapa daerah remote, jaringan listrik yang stabil saja masih susah didapat. Bahkan, masih kejadian di beberapa daerah, akses murid dan guru ke gedung sekolah sulit untuk dicapai. Belum lagi, masalah klasik terkait kurangnya jumlah guru.


Singkat kata, digitalisasi bukan sekadar bagi-bagi perangkat teknologi semata. Digitalisasi pendidikan butuh proses transformasi, tak semudah menemukan baliho politisi di tepi jalan.


Memadukan ketersedian sarana infrastruktur pendidikan, dengan penyebaran dan kompetensi sumber daya manusia, juga penting dilakukan seiring sejalan. Harapannya, seluruh perangkat teknologi yang sudah repot-repot dibeli pemerintah, bisa efektif digunakan. Tak hanya teronggok mubazir di pojokan perpustakaan yang berdebu.

LihatTutupKomentar